'URF: USHUL FIQH




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu ushul fiqh merupakan suatu ilmu yang sangat penting dalam menjelaskan syari’at-syari’at islam serta dalam menggali hokum yang tidak memiliki nash. Dalam ilmu ushl fiqh ini banyak sekali pembahasan tentang sumber hokum islam selain yang terdapat pada al qur’an dan sunnah. Yakni tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan 'urf.
Meskipun terdapat banyak perbedaan mengenai kehujjahan dari 'urf sebagai salah satu sumber hukum islam, namun merujuk pada hadits-hadits nabi dan juga praktek para ulama terdahulu, maka hal itu dapat menunjukkan bahwasannya diperbolehkannya memakai 'urf sebagai sumber hukum islam. Karena pada prinsipnya agama islam menerima dan mengakui  adat dan tradisi dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan al qur’an dan sunnah. Islam tetap melestarikan tradisi yang dianggap baik dalam masyarakat dan mengahpus secara bertahap tradisi yang dianggap bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Maka dalam makalah ini kami akan membahas tentang kehujjahan 'urf sebagai salah satu sumber hukum islam, yang mana bersumber dari tradisi yang ada pada masyarakat. Yang dilestarikan oleh islam jika membawa pada kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syara’.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian  urf?
2.    Apa saja macam-macam urf?
3.    Bagaimana dasar hukum urf?
4.    Apa saja syarat-syarat dan kaidah-kaidah 'urf?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian  'Urf
Arti urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat urf sering disebut sebagai adat. Pengertian ini juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian diantara manusisa tentang jual beli tanpa mengucapkan lafal ijab dan qobul. Sedang contoh urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan dan kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat islam Indonesia mengandung arti talak.
Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.  Sedangkan secara istilah ‘urf  ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai di mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.
Maka, dari pengertian di atas urf ialah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam. Namun, jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan syari'at islam, maka kebiasaan tersebut dihapus dengan dalil yang ada pada syara'.
B.     Macam-Macam Urf
Ditinjau dari segi jangkauannya, Urf dapat dibagi dua, yaitu: Urf al-amm dan Urf al-khash.
1.    Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga, membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.
2.    Urf al-Khash
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi menyabut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjuk pengertian luas tanah 10 x 10 meter. Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari keabsahannya, Urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:
1.    Urf shahih
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan- aturan hokum islam. Dengan kata lain, Urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminanagn adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang. Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.
2.    Urf fasid
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebalik dari Urf shahih, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada masyarakat adat Riau tertentu), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara). Sejalan dengan perkembangan zaman dan semakin membaiknya pemahaman terhadap hokum islam pada kedua komunitas masyarakat tersebut, secara berangsur-angsur adat kebiasaan tersebut telah mereka tinggalkan.
Para ulama sepakat, bahwa Urf fasid tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pemasyarakatan dan pengalaman hukum islam pada masyarakat, sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf, diupayakan mengubah adat kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan ajaran islam tersebut, dan menggantikannya dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan syariat islam. Karena Urf fasid bertentangan dengan ajaran islam, maka uraian selanjutnya hanya berkaitan dengan Urf shahih.

C.    Dasar Hukum
Madhab yang dikenal banyak menggunakan Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dibandingkang dengan kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, dan pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil.
Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan yaitu Surat Al-A’raf ayat 7:199:
خُذِ اْلعَفْوَ وَأمُرْ بِاْلعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ اْلجَاهِلِيْنَ.
“Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf 7:199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.
D.    Syarat-Syarat dan Kaidah-Kaidah 'Urf
1.    Syarat-Syarat Urf
Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, tidak lepas dari beberapa syarat yang harus dipenuhi. Maka para ulama ushul fiqh dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai berikut:
a.    Urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’i, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung dalam nash tidak bisa diterapkan. Urf seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan urf baru bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi. Apabila urf tersebut bertentangan dengan nash yang umum yang ditetapkan dengan dalil yang dzanni, baik dalam ketetapan hukumnya maupun penunjuk dalilnya, maka urf tersebut berfungsi sebagai takhsis daripada dalil yang dzanni.
b.    Urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
c.    Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian.
2.    Kaidah-Kaidah Urf
Diterimanya urf  sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum islam. Maka keadaan urf pun akan selalu mengalami berbagai macam warna. Seperti yang dikatakan oleh ibnu al qoyyim al jauziyah bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dikarenakan adanya perubahan waktu dan tempat, maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat istiadat itu berubah.
Dari berbagai kasus 'urf yang dijumpai, para ulama ushul fiqh merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, diantaranya:
a.    اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ   “adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.
b.    لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلاَزْمِنَةِ وَ اْلاَمْكِنَةِ.  “Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”.
c.    الْمَعْرُوْفُ عُرْفًا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطً  “Yang baik itu menjadi urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”.
d.    الثَّابِتُ بِاْلعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّاصِ  “Yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (al qur’an atau hadits)”.
Tapi perlu diperhatikan bahwa hukum disini bukanlah seperti hukum yang ditetapkan melalui al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi hukum yang ditetapkan melalui ‘urf itu sendiri.


BAB III
KESIMPULAN

Urf adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan oleh masyarakat yang dipandang baik, baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang tidak bertentangan dengan syari'at islam.
Macam-macam urf ditinjau dari segi jangkauannya, Urf dapat dibagi dua, yaitu: Urf al-amm dan Urf al-khash. Ditinjau dari keabsahannya, Urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu urf shahih dan urf fasid
Dasar hukum urf pada prinsipnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, dan pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil.
Syarat-syarat urf diantaranya: urf tersebut tidak bertentangan dalil qath’I, urf tersebut berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas tersebut baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan dan urf harus berlaku selamanya maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian. Dan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf, diantaranya: adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum, tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat, yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat, yang ditetapkan melalui urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (al qur’an atau hadits).


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Rahman. 2011. Ushul Fiqh. (Jakarta: Amzah)

Effendi, Satria. M. Zein, MA. 2005. Ushul fiqih, (Jakarta: kencana)

Khalaf, Abdul Wahab. 1993. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: Rajawali)

Syafe’I, Rahmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung: CV Pustaka Setia)

Umam, Chaerul. dkk,. 2000. Ushul Fiqh 1. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA)


Makalah Korelasi Pendidikan Islam dan Nasional

  BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang   Pendidikan Islam merupakan suatu lembaga pendidikan sesuai dengan peraturan pemerintah N...